Friday, April 22, 2011

Surga

Entah kenapa rasanya ada sensasi tersendiri saat saya mulai berfikir hal-hal diluar yang biasa saya pikirin. Nge-tweet, tweetnya banyak direspon, DM berumunculan, di BUZZ di YM!, sampai dicap yang 'nggak-nggak' sama teman akibat statement saya yang berbunyi : "Memang bangga ya, ketika lo hanya beorientasi pada Surga?"

Well, nggak ada yang salah dengan Berorientasi Surga tersebut. Se-nggak ada salahnya dengan ungkapan saya diatas.

Saya adalah tipe orang yang menganggap hidup adalah arena bermain. Arena bermain yang tak sesempit Timezone, tak semahal Disneyland, dan tak semegah Trans Studio di Makassar. Tapi, di 'arena bermain' bernama hidup, semua lengkap tersedia. Lo bisa jadi orang yang sosialis ketika lo jadi volunteer di organisasi sosial. Lo bisa jadi orang yang 'terkenal' dengan meng-upload video lo di Youtube. Lo juga bisa jadi orang yang diberkahi Tuhan dengan rajin sholat lima waktu, pergi ke gereja setiap minggu, beribadah di Pura atau Vihara.

Hidup, memberikan semua yang lo mau. Lo butuhkan.

Atau bahkan, ketika lo sedang tidak mau apa-apa. Sedang tidak butuh apa-apa. Hidup akan menjawab 'iya' dan menuruti semuanya.

Tapi, yang saya lihat belakangan ini ; ada beberapa orang yang seperti sudah nggak cinta lagi sama hidupnya. Bukan! Bukan mereka yang loncat di pusat perbelanjaan gara-gara masalah percintaan. Bukan juga mereka yang minum obat pembasmi serangga karena masalah keluarga.

Yang saya sebut sebagai orang yang tidak cinta lagi sama hidupnya adalah : orang yang sangat pusing memikirkan Surga. Mempersiapkan Surga sebaik yang dia pikir. Tapi lupa, bahwa Hidup jauh lebih panjang-berliku-susah-nan banyak tantangan ketimbang nanti, kalau lo memang beneran jadi penghuni Surga.

Sepertinya semua yang dilakukan di hidup ini hanya untuk Surga. Menghalalkan segala perbuatan yang dianggap benar demi Surga. Mengenyampingkan semua urusan di dunia, yang bersinggungan dengan manusia, hanya demi Surga.

Menurut saya, nggak ada hal paling cela sedunia, selain orang yang menganggap orang lain salah, sehingga nggak pantas masuk Surga.

Oke. Tarolah semua orang pengen masuk Surga. Tapi ya haloooo Surga itu bukan Dufan yang lo mesti ngantri seharian demi bisa main Istana Boneka lho. Surga bukan Konser Maroon 5 yang lo mesti dulu-duluan beli tiket, karena dalam kurun waktu 1 jam tiket itu akan ludes des des. Surga juga bukan antrian jadi CPNS yang menuntut lo mesti punya modal banyak, link yang kuat, dan dukun sakti mandraguna supaya bisa lolos jadi PNS beneran. Surga tidak butuh orang-orang yang 'bermodal banyak' seperti halnya kalo lo mau jadi Anggota DPR!

Bagi saya, Surga bukan sistem seketat seleksi SIMAK UI yang cuma nyediain beberapa bangku untuk sekian ribu orang yang mau kuliah. Surga juga nggak se-limited kapasitas sebuah workshop gratisan kok.

Lo dukung Sunat Perempuan yang padahal nggak baik buat kesehatan Perempuan dan nggak terbukti dianjurkan Agama, demi Surga. Lo menjauh dari kawan-kawan lo yang Homo dengan alasan nanti lo nggak bisa masuk Surga. Lo umbar-umbar bahwa Kesetaraan Gender adalah budaya barat yang menjauhkan manusia dari Surga, demi lo bisa masuk Surga.

Memang siapa yang bisa menjamin lo akan masuk Surga dengan tindakan-tindakan diatas? Siapa?

Please Guys, why don't you more appreciating your life and respect others, than you use your life only for focusing on 'how to get a golden ticket to Heaven?'. Come on...

Hidup dan Surga adalah dua hal yang berbeda menurut pandangan saya.

Hidup adalah proses lo menjalani kehidupan. Dan Surga, adalah sesuatu yang masih blur, lo nggak tahu akan ngapain disana, dan segala 'perjuangan' yang lo lakukan-lo nggak akan pernah tahu apa benar itu akan membuat lo masuk Surga. Ingat, kita nggak punya timbangan pengukur amal dan dosa. Kita nggak punya detektor untuk menentukan mana orang yang pantas masuk Surga. Bahkan kita nggak tahu surga tuh bentuknya gimana. Kita nggak akan pernah tahu.

_NR_

22 04 11

Wednesday, April 6, 2011

Saya, Belakangan Ini...

Seminggu yang lalu, tepatnya di angkot 04 jurusan Pasar Minggu - Depok Timur (hingga depan jalan rumah saya), saat saya yang benci harus buru-buru pulang disaat orang lain pulang kerja lalu angkotnya jadi penuh, rebutan, dan bau keringat bercampur parfum 12 orang dari berbagai penjuru jakarta, dengan pikiran dan orientasi seks yang berbeda-beda.

Angkot yang berjalan tersendat akibat semakin kayanya penduduk Indonesia yang kebanyakan sudah dan selalu memakai kendaraan pribadi di jam-jam ramai, akhirnya sampai juga di kawasan Kota Administratif minim jembatan penyeberangan bernama Depok. Angkot berwarna coklat putih itu pun berhenti di depan Rumah Sakit Mitra depan ITC Depok untuk menurunkan sebagian besar penumpangnya yang sudah terlebih dahulu mengetok bagian atas angkot tanda "Kiri Bang".

Turunnya sebagian penumpang tersebut tergantikan dengan naiknya 3 orang pemuda (1 orang perempuan, 2 orang laki-laki). "Oh, mereka pengamen. Tumben rame-rame" ucap saya dalam hati.

Mereka pun menyanyikan sebuah lagu yang saya tidak tahu sama sekali, dilanjut dengan satu lagu dari Benyamin yang Malam Minggu ke Bioskop, dengan lirik yang salah-salah mereka cuek dan bernyanyi dengan gembira.

Pikiran saya menerawang...

Mereka masih muda sekali, ya paling seumuran saya, remaja.

Mereka ceria sekali, walau sendal hotel yang mereka kenakan tak bisa dibilang masih layak dipakai, dan baju yang terpasang di badan mereka tak bisa dibilang nyaman (mungkin sudah gatal atau bau)

Mereka punya mimpi enggak ya? Punya masalah? Punya cita-cita? Daftar hal yang ingin dilakukan di 2011? - Seperti saya?

Bicara mimpi, saya rasa mereka pasti punya mimpi. Siapapun, di dunia ini. (paling tidak itu kata buku yang saya pernah baca, entah benar, entah hanya untuk menghibur, atau agar bukunya dibilang 'memotivasi')

Baiklah, lalu apa mimpi mereka?

Apakah seribet mimpi saya yang ingin jadi staff di NGO, sutradara film, dan penulis? yang ingin punya TK, perpustakaan komplit, dan rumah dengan balkon berayunan agar saya bisa ngopi, begadang, sambil mengerjakan pekerjaan saya?

atau, saya yang ingin tetap hidup dengan Ibu saya, tak peduli sudah betapa tua saya, dan betapa renta Beliau?

Atau

Mimpi mereka malah ingin menjadi saya? remaja yang bebas keluyuran malam karena punya Ibu terlalu demokratis, bebas bergaul karena tidak punya pacar, dan bebas menulis apa saja yang saya mau karena saya punya 'lahan' bernama Internet, yang tidak pernah marah, walau saya sering caci-maki?

Atau bisa juga...

Mimpi mereka, adalah sama seperti Mimpi saya, yaitu ingin sekali hidup di Dunia yang penuh kedamaian, tanpa kekerasan, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan minoritas, sehat dan bahagia dalam keberagaman?

***

Belakangan hari ini, saya dan teman-teman saya di YJP sedang sangat hot membicarakan Kaskus, yang membiarkan bahkan memfasilitasi terjadinya diskriminasi terhadap kaum Homoseksual dengan menyediakan emoticon MaHo, dan mempertahankan thread-thread diskriminatif tersebut, dan malahan menghapus thread teman saya Agrita yang mengkritisi masalah ini, dan meminta tindakan tegas officer Kaskus akan hal ini.

Diluar dari masalah Kaskus yang katanya 'providing human rights' dan kenyataannya yang sama sekali tidak begitu, dan diluar dari kebebasan berekspresi di social media, saya memang sudah cukup lama mempertanyakan kepuasan orang yang sudah demikian lantangnya meneriakkan bahwa kaum Homoseksual harus diberantas demi masa depan bangsa (apa hubungannya, deh?), kaum Homoseksual adalah pesakitan yang harus disembuhkan (#yakali ambeien), kaum Homoseksual harusnya ditaruh di pulau terpencil lalu dibakar hidup-hidup (saya rasa anda hidup di beberapa abad yang lalu ya...), atau kaum Homoseksual yang merusak citra bangsa (perusak citra bangsa adalah mereka yang korup, mereka yang doyan berjanji tanpa menepati, dan mereka yang melakukan 'pencitraan' tanpa peduli jutaan jiwa sedang kelaparan)

Memang sepuas itu ya rasanya, membuat thread khusus untuk memperbincangkan Sm*sh dan 'ke-MaHoannya' ? (padahal kenal juga enggak sama Sm*sh)

Sepuas itu ya rasanya, mengina orientasi seks orang lain, menilai orientasi seks diri sendiri yang paling baik, kemudian membawa embel-embel Agama sebagai amunisi untuk memusnahkan pendapat yang tak sependapat?

dan memang, sesulit itu ya membiarkan terjadinya keberagaman tersuguh di depan mata, termasuk keberagaman orientasi seks, dan keberagaman keyakinan? apakah itu membuat mereka menjadi miskin, sehingga rasanya hal itu tidak boleh dilakukan?

Lalu ada lagi!

Selama dua tahun terakhir ini - terhitung semenjak saya bergabung di Change, dan apalagi sekarang, setelah saya merubah occupation saya di Facebook menjadi "Assistant Program Youth Center at Yayasan Jurnal Perempuan", setiap kali saya online messenger (entah itu YM!, MSN, chat FB, dll) pasti ada saja yang tahu-tahu menyapa saya dengan :

Hey nies, apa kabar? Makin sibuk ya di YJP? Wah, selamet deh. Asal enggak jadi beneran liberal aja...

atau

Nies, lo sering ke Salihara ya? Hati-hati lo nies. Yang gue denger Salihara kan tempat orang-orang 'begitu'....

atau

Nies, gue baca status fb lo dan tweet lo belakangan ini, lo makin gemar membela kaum Homoseksual ya? Kenapa? Apa lo sekarang udah jadi Lesbi? Hahahaha

atau

Nies, kamu gak beneran mendukung Seks Pranikah, kan? (plis jangan) :)

atau

Nies, aku pengen tau nih. Sebenarnya kamu atheist atau gak sih? Yang aku lihat, belakangan ini kamu jadi semakin liberal, yah?

Keseringan sih saya langsung invisible, dengan terlebih dahulu menjawab dengan jawaban singkat nan basi :

Ya gitu deh. Hehehe. Ada masalah?

Terakhir,

We have a right to be let alone (Warren and Brandeis, 1890)