Konferensi perubahan iklim di Kopenhagen belakangan ini menjadi buah bibir yang tak henti-hentinya diperbincangkan. Berita soal konferensi besar ini, memang mendominasi jagad pemberitaan dunia. Akan tetapi, kini sudah saatnya kita kembali berpikir ulang apa gunanya segala macam konferensi kalau memang nggak ada efeknya? Kalau memang nggak ada movement yang kita luncurkan menyangkut masalah pengurangan efek global warming, semua perbincangan dan kehebohan yang terjadi, sia-sia sudah. Cuma jadi tong kosong.
Bukan sehari-dua hari kita semua meributkan bagaimana caranya melawan pemanasan global. Sudah berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun yang lalu, kita dianjurkan agar lebih peduli pada bumi dengan cara masing-masing dari mulai yang sederhana sampai yang luar biasa. Seperti sebagian besar umat katholik di Belanda yang bela-belain nggak makan daging setiap hari jumat. Itu sebuah tindakan yang tidak main-main! Namun buat kita? Di Indonesia khususnya, boro-boro deh menetapkan hari anti daging segala, kalau masing-masing individunya pada doyan boros energi seperti menggunakan barang sekali pakai, memposisikan mode standby pada barang elektronik, bepergian kudu dengan kendaraan bermotor, dan yang lebih parah tidak turut serta dalam kegiatan tanam pohon ( padahal itu digalakkan dimana-mana ).
Kalau dipikir-pikir, apa yang kita lakukan sekarang belum ada apa-apanya malah jauh dari sebanding dengan yang kita lakukan terlebih dahulu yaitu merusak bumi. Akuilah, jika kita lebih mudah menuliskan sepuluh hal atau kegiatan yang sudah kita lakukan untuk kesenangan pribadi tanpa peduli efeknya terhadap bumi, daripada menuliskan sepuluh hal atau kegiatan yang mendukung upaya pemulihan bumi dari pemanasan global. Ya kan?
Namun kebanyakan kenyataan yang disodorkan di hadapan saya belakangan ini, adalah kenyataan dimana orang-orang sudah cukup berbangga dengan hanya melakukan tindakan-tindakan kecil untuk perbaikkan kondisi bumi. Bagi mereka : “ Ya sudah tuh, saya sudah ganti lampu pakai lampu hemat energi. Cukup lah… “ Dan stop sampai disitu. Ia tidak berusaha mencari cara lain, cukup. Asal saja, toh nggak akan ada orang yang menuntut hanya gara-gara persoalan nggak peduli bumi. Toh, bumi juga nggak tau mana orang-orang yang “jahat” dan mana orang-orang yang “baik”. Itulah sifat dasar manusia terhadap hal-hal berbau kesejahteraan bersama, sekenanya saja.
Buat saya, konferensi perubahan iklim di Kopenhagen itu seharusnya bisa menjadi pembuka mata yang paling efektif buat kita. Dengan begitu kita bisa merasa “ Diluar sana orang-orang pada semangat banget ya ngurusin soal kesehatan bumi. Sampai mengorbankan waktu, tenaga, dan uang malah. Kenapa kita disini tinggal beli bibit pohon, nyangkul sedikit, terus tanam saja susah sekali? Rasanya nggak ada tenaga untuk sekedar mencuci barang-barang pakai-ulang. ” Seharusnya juga, ini menjadi penggerak dan motivasi buat kita kalau nggak ada susahnya kok, menyisakan sedikit ruang hidup kita untuk memikirkan dan bertindak bagi urusan sepenting ini.
Selain terus gencar beraksi dan mengajak orang-orang melakukan beragam upaya pencegahan global warming. Saya hanya bisa berharap, agar konferensi perubahan iklim di Kopenhagen tersebut tidak hanya heboh diberitakan. Tapi juga bisa heboh di wujudkan. Juga bisa membuahkan hasil positif untuk kita semua. Semoga ini bukan menjadi titik klimaks kita berkontribusi melawan pemanasan global, tapi malah jadi awal buat kita supaya semakin semangat exist merawat bumi.
Friday, December 25, 2009
Gaya Pacaran ( Dasar ABG Jaman Sekarang... )
Adoh adoh adooooh…. Ini nih sebuah masalah yang tampaknya sepele, padahal jelas-jelas patut banget diberesin.
Nih ya, saya punya teman (untuk kebaikan bersama pake inisial aja ya) sebut saja A. Dia seumuran saya gitu lah sama-sama kelas 2 SMA , tapi pacarnya udah lumayan dewasa kelahiran ’86. Untuk saya yang belum pernah pacaran beneran, awalnya saya berfikir kalau merajut hubungan dengan orang dewasa dapat berdampak baik sama kehidupan khususnya untuk proses kedewasaan pola berfikir. Tapi ternyata bukan “kedewasaan” itu yang timbul, malah “kedewasaan” yang lain.
Berawal saat saya lagi nyempetin diri ( biasanya sih males banget ) buka profile Facebook si A. DAN YAAMPUUUUUN!!! Isinya dari A sampe Z ada hubungannya sama dunia pacaran mereka. Dari mulai aplikasi ( Ada Stick Family, Glitter Text. Dll) itu semua pasti bertuliskan nama dia dan pacarnya. Terus status, setiap update-an statusnya pasti mengarah kesana. ( Misal : “ Hanya cinta ***** “ Atau “ Aku beruntung banget ya jadi pacar kamu, love u forever “ dll ) selalu dan selalu. Lalu, profile picture. Nah ini nih yang sempet bikin saya tercengang-cengang dan bengong buat beberapa detik. Profile picture teman saya itu, adalah foto dia beserta pacar lagi… Ciuman! Bukan bibir sih, tapi tetep aja di foto itu tergambar dengan sangat jelas si cowok mencium pipi A dengan penuh niat, sementara si A sambil tertawa girang menatap kamera. Gara-gara liat profile picturenya, saya jadi malahan penasaran ( dan akhirnya khilaf ) buka album-album foto teman saya yang lain. DAN! Ya seperti sudah saya duga, foto-foto nya yang lain pun kurang lebih “beraliran” sama. Bahkan sempat saya menemukan salah satu foto yang terlihat sekali berlokasi di kamar tidur. ( Saat itu saya langsung teriak : “ Ini kemana Orang Tuaaanyaaaaaaaa!!! “ ) Hufffth….
Sebagai temen, saya udah berusaha ngingetin temen saya untuk nggak terlalu meng-expose secara berlebihan aktivitas pacaran dia di Facebook.
Setelah beberapa minggu, saya nggak berkomunikasi dengan si A. Dan saat saya buka profile Facebooknya dengan maksud awal mau nulis wall, ternyata disitu terlihat beberapa tulisan yang menunjukkan kalau mereka putus! Si A, udah mencabut relationship statusnya yang semula “engaged to…” jadi “single”.
Semua aplikasi-aplikasi yang menyebut-nyebut nama dia dan cowoknya juga udah dilenyapkan. Profile picture juga udah langsung diganti sama foto dia sendiri (tentu saja foto ini jauh lebih bagus). Dan beberapa update-an statusnya berbunyi : “ sedang merasakan sakitnya patah hati, karena diputusin. Huhuhu “ dan beberapa status-status lainnya yang memang menyebutkan hubungan pacaran dia dan pacarnya udah berakhir.
Beberapa hari selanjutnya saya dan A pergi hangout bareng, dan saya kaget setengah mati karena sekarang teman saya jadi remaja yang sangat kuruuuuuus kayak orang kekurangan gizi. Saya tanya mengapa, dan dia jawab “ gue nggak makan Nies, udah tiga hari. Nggak kepengen ngapa-ngapain Nies… “ itu semua cuma gara-gara putus sama cowok tuh! Kok efeknya udah kayak buruh di PHK dan nggak punya duit buat susu anak ya? Hmm…
Setelah peristiwa itu, entah kenapa saya jadi semakin suka penasaran dan pengen tau aja sama gaya-gaya pacaran teman-teman bahkan suka juga merhatiin tingkah laku pacaran anak-anak ABG lain yang biasa saya temui di luar. Kayak di angkot, restoran, eskalator mall, jalanan, bioskop, semuanya deh!
Di angkot, ada sepasang anak SMA yang dari naik sampai 45 menit perjalanan pegangan tangan mulu sampe-sampe pas ada penumpang yang mau naik, mereka nggak ngeh dan boro-boro mau menggeser posisi duduk.
Di restoran, kebetulan saat itu saya dan mama makan di sebuah restoran sederhana yang rame dengan tempat duduk terbatas. Pada jam makan siang yang super dipenuhi sama karyawan yang kelaparan, diharapkan buat orang-orang yang sudah selesai makan dan minum langsung pergi meninggalkan tempat, supaya orang lain yang mau makan jadi nggak nunggu lama. Tapi di pojok, ada sepasang anak SMA yang mejanya udah terdapat piring gelas kosong setelah makan, malahan asyik banget maen “belai-belaian”.
Di eskalator mall dan jalanan, kayaknya udah pemandangan biasa tuh cewek sama cowok jalan sambil pelukkan pinggang dan nggak peduli sama orang-orang lain yang berlalu-lalang di sekitar mereka.
Nah kalau bioskop sih… kayaknya emang udah “ngetop” ya orang keluar bioskop dengan rambut acak-acakan dan baju kusut. Bahkan cerita teman-teman saya juga pernah memergoki sepasang kekasih yang lagi “ngapa-ngapain” di bioskop.
Kalau liat atau cerita soal pemandangan-pemandangan kayak gitu ke mama, pasti mama jawab “ yah Nies, kalo jaman mama mah orang pacaran paling buat ngerjain tugas bareng atau saling support pas pertandingan olahraga. Beda sih ya, anak dulu makannya tempe-tahu. Kalau ABG jaman sekarang, makannya junkfood melulu… “
Setelah menggabungkan kisah teman saya, pemandangan di luar, komentar mama, dan juga berita-berita di TV bahwa anak-anak muda jaman sekarang cekcok dikit ama pacar, putus langsung bunuh diri, dan lain-lain. Buat saya, pacaran sih silahkan-silahkan aja, tapi jangan penuhin aktivitas pacaran kita dengan physical-physical thing kayak gitu, soalnya ini kan baru sementara, belum tentu pacar kita sekarang adalah pasangan kita di rumah tangga nanti. Kayaknya... memang ada yang salah sama semua ini.
Nih ya, saya punya teman (untuk kebaikan bersama pake inisial aja ya) sebut saja A. Dia seumuran saya gitu lah sama-sama kelas 2 SMA , tapi pacarnya udah lumayan dewasa kelahiran ’86. Untuk saya yang belum pernah pacaran beneran, awalnya saya berfikir kalau merajut hubungan dengan orang dewasa dapat berdampak baik sama kehidupan khususnya untuk proses kedewasaan pola berfikir. Tapi ternyata bukan “kedewasaan” itu yang timbul, malah “kedewasaan” yang lain.
Berawal saat saya lagi nyempetin diri ( biasanya sih males banget ) buka profile Facebook si A. DAN YAAMPUUUUUN!!! Isinya dari A sampe Z ada hubungannya sama dunia pacaran mereka. Dari mulai aplikasi ( Ada Stick Family, Glitter Text. Dll) itu semua pasti bertuliskan nama dia dan pacarnya. Terus status, setiap update-an statusnya pasti mengarah kesana. ( Misal : “ Hanya cinta ***** “ Atau “ Aku beruntung banget ya jadi pacar kamu, love u forever “ dll ) selalu dan selalu. Lalu, profile picture. Nah ini nih yang sempet bikin saya tercengang-cengang dan bengong buat beberapa detik. Profile picture teman saya itu, adalah foto dia beserta pacar lagi… Ciuman! Bukan bibir sih, tapi tetep aja di foto itu tergambar dengan sangat jelas si cowok mencium pipi A dengan penuh niat, sementara si A sambil tertawa girang menatap kamera. Gara-gara liat profile picturenya, saya jadi malahan penasaran ( dan akhirnya khilaf ) buka album-album foto teman saya yang lain. DAN! Ya seperti sudah saya duga, foto-foto nya yang lain pun kurang lebih “beraliran” sama. Bahkan sempat saya menemukan salah satu foto yang terlihat sekali berlokasi di kamar tidur. ( Saat itu saya langsung teriak : “ Ini kemana Orang Tuaaanyaaaaaaaa!!! “ ) Hufffth….
Sebagai temen, saya udah berusaha ngingetin temen saya untuk nggak terlalu meng-expose secara berlebihan aktivitas pacaran dia di Facebook.
Setelah beberapa minggu, saya nggak berkomunikasi dengan si A. Dan saat saya buka profile Facebooknya dengan maksud awal mau nulis wall, ternyata disitu terlihat beberapa tulisan yang menunjukkan kalau mereka putus! Si A, udah mencabut relationship statusnya yang semula “engaged to…” jadi “single”.
Semua aplikasi-aplikasi yang menyebut-nyebut nama dia dan cowoknya juga udah dilenyapkan. Profile picture juga udah langsung diganti sama foto dia sendiri (tentu saja foto ini jauh lebih bagus). Dan beberapa update-an statusnya berbunyi : “ sedang merasakan sakitnya patah hati, karena diputusin. Huhuhu “ dan beberapa status-status lainnya yang memang menyebutkan hubungan pacaran dia dan pacarnya udah berakhir.
Beberapa hari selanjutnya saya dan A pergi hangout bareng, dan saya kaget setengah mati karena sekarang teman saya jadi remaja yang sangat kuruuuuuus kayak orang kekurangan gizi. Saya tanya mengapa, dan dia jawab “ gue nggak makan Nies, udah tiga hari. Nggak kepengen ngapa-ngapain Nies… “ itu semua cuma gara-gara putus sama cowok tuh! Kok efeknya udah kayak buruh di PHK dan nggak punya duit buat susu anak ya? Hmm…
Setelah peristiwa itu, entah kenapa saya jadi semakin suka penasaran dan pengen tau aja sama gaya-gaya pacaran teman-teman bahkan suka juga merhatiin tingkah laku pacaran anak-anak ABG lain yang biasa saya temui di luar. Kayak di angkot, restoran, eskalator mall, jalanan, bioskop, semuanya deh!
Di angkot, ada sepasang anak SMA yang dari naik sampai 45 menit perjalanan pegangan tangan mulu sampe-sampe pas ada penumpang yang mau naik, mereka nggak ngeh dan boro-boro mau menggeser posisi duduk.
Di restoran, kebetulan saat itu saya dan mama makan di sebuah restoran sederhana yang rame dengan tempat duduk terbatas. Pada jam makan siang yang super dipenuhi sama karyawan yang kelaparan, diharapkan buat orang-orang yang sudah selesai makan dan minum langsung pergi meninggalkan tempat, supaya orang lain yang mau makan jadi nggak nunggu lama. Tapi di pojok, ada sepasang anak SMA yang mejanya udah terdapat piring gelas kosong setelah makan, malahan asyik banget maen “belai-belaian”.
Di eskalator mall dan jalanan, kayaknya udah pemandangan biasa tuh cewek sama cowok jalan sambil pelukkan pinggang dan nggak peduli sama orang-orang lain yang berlalu-lalang di sekitar mereka.
Nah kalau bioskop sih… kayaknya emang udah “ngetop” ya orang keluar bioskop dengan rambut acak-acakan dan baju kusut. Bahkan cerita teman-teman saya juga pernah memergoki sepasang kekasih yang lagi “ngapa-ngapain” di bioskop.
Kalau liat atau cerita soal pemandangan-pemandangan kayak gitu ke mama, pasti mama jawab “ yah Nies, kalo jaman mama mah orang pacaran paling buat ngerjain tugas bareng atau saling support pas pertandingan olahraga. Beda sih ya, anak dulu makannya tempe-tahu. Kalau ABG jaman sekarang, makannya junkfood melulu… “
Setelah menggabungkan kisah teman saya, pemandangan di luar, komentar mama, dan juga berita-berita di TV bahwa anak-anak muda jaman sekarang cekcok dikit ama pacar, putus langsung bunuh diri, dan lain-lain. Buat saya, pacaran sih silahkan-silahkan aja, tapi jangan penuhin aktivitas pacaran kita dengan physical-physical thing kayak gitu, soalnya ini kan baru sementara, belum tentu pacar kita sekarang adalah pasangan kita di rumah tangga nanti. Kayaknya... memang ada yang salah sama semua ini.
Tuesday, December 22, 2009
Campaigning stop global warming, do not need an anarchists!
Greenpeace is so amazing! Greenpeace is a place for people who care about the earth, in several countries, including Indonesia. Incredibly, friends! They dare to do high-risk action.
Last October, Greenpeace Indonesia, forced to stop forest destruction activities by a paper company in Riau. After twenty-seven hours, arguing, finally the paper company had stopped all their activities and their business license will be reviewed.
With actions such as saving the climate, as they did, they managed to show the world: if we have the spirit and great determination to do what is right and important, do not be ashamed especially afraid! It takes the sacrifice of time and effort. But, as long for something useful for the crowds, why not?
So far, between friends, I was the most talkative person in the matter which concerns keep clean, efficient energy, planting trees, or utensils can be washed better than disposable Styrofoam.
If it is get together, the few male friends who smoke usually throw the cigarette butts into the street they used away without disabled. And when it was so, I'm only one who stubbed out cigarettes and throw it in the trash while starting a "lecture" about how important it is to keep our earth's health. My friends just laughed and said : " Oh well my dear Nies, do not have to like it. So, the people do not necessarily care about the earth, so why should we are struggling? Bothered, while people still take it easy ".
Always like this, relying on people. This is a dangerous disease that make young generations discouraged. I often do they talk back, "Why do people always have to wait before? Why not us who started, and then invite them to follow-up? This world does not need the people who likes to be follower, and do not need the same people who are embarrassed or afraid to become change agents".
If I had not been successful, I usually say: "Guys, let’s think! Even if you have two suitcases of money, but if you do not keep our planet from global warming, and one day our world was really devastated and we cannot live anymore, where you want to live? You are smoking, traveling with their vehicles, littering, do not plant trees, you know if that's all aggravate the condition of our earth? If you keep doing this, could not smoke and travel, could no longer breathe! Won’t you? ", They’re quite...
Suddenly my friend said, ”Hey guys! If we want to go again, we use only one car, so we've saved the earth right?”, " Absolutely! Hahaha ".
See, to be a leader of change, we do not need to use the anarchists way. Enough with the spirit and intention, pointed out properly, it makes followers more and more! Especially, if the change is to something good like a change to save our planet from global warming as I always do!
Keep the spirit!
Last October, Greenpeace Indonesia, forced to stop forest destruction activities by a paper company in Riau. After twenty-seven hours, arguing, finally the paper company had stopped all their activities and their business license will be reviewed.
With actions such as saving the climate, as they did, they managed to show the world: if we have the spirit and great determination to do what is right and important, do not be ashamed especially afraid! It takes the sacrifice of time and effort. But, as long for something useful for the crowds, why not?
So far, between friends, I was the most talkative person in the matter which concerns keep clean, efficient energy, planting trees, or utensils can be washed better than disposable Styrofoam.
If it is get together, the few male friends who smoke usually throw the cigarette butts into the street they used away without disabled. And when it was so, I'm only one who stubbed out cigarettes and throw it in the trash while starting a "lecture" about how important it is to keep our earth's health. My friends just laughed and said : " Oh well my dear Nies, do not have to like it. So, the people do not necessarily care about the earth, so why should we are struggling? Bothered, while people still take it easy ".
Always like this, relying on people. This is a dangerous disease that make young generations discouraged. I often do they talk back, "Why do people always have to wait before? Why not us who started, and then invite them to follow-up? This world does not need the people who likes to be follower, and do not need the same people who are embarrassed or afraid to become change agents".
If I had not been successful, I usually say: "Guys, let’s think! Even if you have two suitcases of money, but if you do not keep our planet from global warming, and one day our world was really devastated and we cannot live anymore, where you want to live? You are smoking, traveling with their vehicles, littering, do not plant trees, you know if that's all aggravate the condition of our earth? If you keep doing this, could not smoke and travel, could no longer breathe! Won’t you? ", They’re quite...
Suddenly my friend said, ”Hey guys! If we want to go again, we use only one car, so we've saved the earth right?”, " Absolutely! Hahaha ".
See, to be a leader of change, we do not need to use the anarchists way. Enough with the spirit and intention, pointed out properly, it makes followers more and more! Especially, if the change is to something good like a change to save our planet from global warming as I always do!
Keep the spirit!
Subscribe to:
Posts (Atom)