Monday, March 14, 2011

Ataz Izin Tuhan


Saya melihat begitu beragamnya respon masyarakat yang muncul ke social media berkaitan dengan terjadinya bencana Gempa dan Tsunami di Jepang, Jumat lalu.

Dan rata-rata, status yang di-update, tweet yang dikicaukan, atau PM yang mencuat di Messenger, mendadak jadi berbau nama Tuhan.

Misalnya :

" Ya ini semua peringatan dari Tuhan "

" Pelajaran buat kita semua dari Tuhan, agar menjadi manusia yang lebih baik lagi "

" Semua terjadi Atas Izin Tuhan, berdoalah! "

Kata " Atas Izin Tuhan " lah yang paling menarik.

Mungkin kalau saya jadi Tuhan, tentu saya akan bertanya kepada umat saya soal statement yang ia lontarkan :

- " giliran bencana begini lo bilang Atas Izin Gue, tapi ketika lo diselingkuhin pacar lo, lo pasti bilang pasangan lo kurang ajar... "

- " kenapa ketika ada sekelompok orang yang berbeda aliran agamanya dari lo kebanyakkan, lo bilang dia sesat? padahal kan bisa aja itu juga terjadi Atas Izin Gue? sejak kapan lo bisa baca pikiran gue, heh? "

- " kenapa giliran dalam keadaan yang berduka, kalian baru menjual nama Gue, sementara ketika kalian sedang marah dan mengumpat, keluarlah nama-nama makhluk sepantaran kalian- setan?

- " dan ketika ada sosok yang bukan 'perempuan' dan juga bukan 'laki-laki', kenapa kalian bilang dia menyimpang? padahal, bisa aja kan, gue bosen sama kalian perempuan dan laki-laki yang doyan bikin kekerasan, jadi gue ciptakan deh tuh produk gue yang baru! "

Ya, sekali lagi, gue cuma sedang membayangkan bila gue Tuhan, dan betapa gerahnya melihat kelakuan umatnya yang lama-lama seperti melangkahi wewenangNya. Tuhan itu Maha Kuat (seperti yang dikatakan di semua Ajaran Agama) jadi, sebetulnya kita enggak perlu 'berjuang' untuk Tuhan dengan cara-cara yang teralu ekstrim. Toh, kalau Dia mau, dia bisa bikin semuanya jadi seperti apa yang Dia inginkan.

Dan tentu saja, kekuatan Tuhan itu terjadi,

ATAS IZIN TUHAN.

_NR_

14 03 11

Peraturan



Sejujurnya, sebagai anak muda, saya tidak terlalu suka diatur-atur. Disuruh membaca daftar panjang berisi hal-hal yang harus dipatuhi. Atau mendengar ceramah seseorang terkait pasal-pasal 'harus begini' dan 'tidak boleh begitu'.

Sejujurnya pula, saya gak enggak terlalu suka menggunakan gelar saya sebagai 'anak muda' sebagai excuse untuk melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Misalnya saat terlambat datang ke sebuah pertemuan "biasalah, namanya juga anak muda....". Menurut saya tidak tepat waktu ya tidak tepat waktu, pasti bikin jengkel orang yang tepat waktu. Mau anak muda atau anak tua, tetap saja itu mengganggu.

Dalam berbagai sisi kehidupan yang kita lalui setiap hari, pasti selalu ada peraturan disana. Disadari atau tidak. Seperti menyeberang harus lihat kanan-kiri dulu, lalu menjulurkan tangan untuk menyetop kendaraan. Itu pasti sudah otomatis, reflek kita lakukan ketika mau menyeberang. Membuat tata cara itu terdengar seperti peraturan. Padahal, tidak pernah ada papan bertuliskan tata cara itu dipajang di pinggir jalan, sebagai panduan untuk menyeberang.

Lalu, peraturan berasal dari kebiasaan lain adalah ketika kita mengucapkan "Terima Kasih" ketika menerima sesuatu, misalnya tiket kereta dari petugas loket, atau uang kembalian dari kasir supermarket. Padahal, disana, tidak pernah ada kertas peraturan bertuliskan "Harap ucapkan Terima Kasih!"

Ditengah begitu banyaknya peraturan-peraturan dalam kehidupan sehari-hari yang berbasis, kebiasaan. Sayangnya, nggak banyak dari kita yang 'terbiasa' atau 'terperaturankan' untuk tidak mengatur-ngatur orang lain.

Mengatur orang untuk setuju dengan pendapat kita, mengatur orang untuk pindah ke jalur dimana kita berada, mengatur orang untuk meninggalkan pilihannya dan beralih ke pilihan yang kita sarankan.

Kenapa kita juga, jarang sekali, 'tunduk pada peraturan' bicara jujur, jangan korupsi, atau jangan mendiskriminasi.

Padahal, jika memang benar peraturan dibuat agar terciptanya hidup yang lebih baik, kenapa justru 'peraturan-peraturan' diatas hampir tidak pernah dibiasakan? Dan kenapa peraturan seperti 'jangan menggunakan kursi lipat di kereta' tidak diindahkan, lalu tetap menyebabkan banyak orang kehilangan haknya untuk berdiri dengan nyaman? Kenapa masih saja ada kendaraan selain Bus Transjakarta yang masuk ke jalur Transjakarta, padahal peraturan itu terpampang dengan sangat jelas?

Melihat kondisi bahwa begitu banyaknya 'peraturan' yang dilanggar dan merugikan banyak orang. Kenapa tidak kita buat saja, 'peraturan untuk tidak memberlakukan peraturan' ?


_NR_

14 03 11