Tanpa bermaksud sombong dan besar kepala, saya sadar bahwa perjuangan yang kita lakukan di era sekarang jauh lebih gampang dibanding pas jaman R.A Kartini dulu. Dahulu, untuk keluar rumah saja Beliau harus susah payah dahulu. Tidak seperti kita sekarang, yang dengan bebasnya menyatakan pro atau kontra pada suatu hal tanpa kesulitan. Bermodal perangkat elektronik baik besar atau kecil, koneksi ajaib bernama internet, dan gerakkan jari-jemari - Viola ! " suara " kita sudah bisa sampai ke Ukrania, bahkan ke seluruh dunia.
Saya remaja berusia lima belas tahun, saya berani mengaku bahwa saya telah mendobrak kebiasaan dan melakukan perubahan bermanfaat ( paling tidak untuk diri sendiri dan lingkungan terdekat ). Apa saja bentuk pendobrakan, pemberontakkan, dan perubahan yang sudah - sedang saya lakukan?!
- Ketika kelas enam bangku Sekolah Dasar, saya memutuskan untuk " pindah jalur " dari sekolah biasa, ke aliran Homeschooling. Alasan saya untuk ber-Homeschooling adalah karena saya ingin memperjuangkan berbagai kegiatan saya yang lain ( saya merupakan seorang Dubber, Story teller, Presenter, Aktris, Penulis, dan Aktivis - hingga sekarang ). Di tahun itu status Homeschooling dan juga pendidikan alernatif lainnya masih dianggap tabu. Lebih parahnya, masih sangat sering dibilang setingkat dibawah sekolah formal. Tentangan datang dari berbagai pihak termasuk keluarga ( selain mama ). Mereka semua tidak mendukung pilihan dan keputusan saya untuk keluar dari sekolah. Bahkan, mereka berusaha untuk mempengaruhi mama saya dengan bilang : " Anak kamu kan masih terlalu kecil untuk memutuskan sesuatu yang penting seperti masalah pendidikan ini. Jangan aneh-aneh lah, nanti kalau Homeschooling, bisa-bisa jadi makin aneh. " Namun akibat musyawarah panjang yang saya dan mama saya lakukan, akhirnya kami bulat - mewujudkan pilihan saya, keluar sekolah lalu Homeschooling hingga detik saya menulis tulisan ini. :)
- Saat saya beranjak remaja, taruhlah di usia empat belas tahun dan sekarang ini. Teman-teman saya sudah banyak yang pacaran. Sementara saya, tetap sendiri - setia menjomblo. Berbagai pertanyaan pun muncul dari mulai yang standar sampai yang agak frontal seperti : " Kok belom laku-laku juga Nies? Jangan-jangan kamu nggak normal ya? ". Untuk pertanyaan seperti itu, bisasanya saya menjawab dengan jawaban yang tidak biasa pula : " Aku normal kok. Aku nggak pacaran karena aku merasa belum siap untuk tergantung sama orang lain - pacar , karena aku juga belum siap untuk diatur-atur dan dibatasi ruang geraknya oleh orang lain. Karena dengan single, aku merasa nggak perlu pusing mengontrol wilayah pergaulan aku demi menjaga perasaan orang lain ". Saking seringnya menjawab dengan jawaban seperti itu, lama-lama kalimat demi kalimat diatas terpatri di kepala saya, dan akhirnya saya bilang pada diri sendiri : " Oh iyaaa yaaa...Memang benar, itu alasan saya... "
- Saya orang yang sangat sangat peduli lingkungan. Dan saya benci pada orang-orang yang tidak menjaga kelestarian lingkungan. Saking kritisnya saya terhadap soal-soal berbau bumi, saya sering dibilang " gila " sama teman-teman bahkan sama orang-orang yang baru bertemu di jalan. Saya sering menjadi bahan gunjingan saat " tertangkap basah " memunguti sampah yang terdapat di fasilitas umum seperti taman, stasiun, kereta, mall, juga trotoar jalan. Saya juga sering di tertawakan jika sedang pergi berbelanja, dengan membawa shopping bag sendiri. Di pandang dengan tatapan sinis ketika menolak brosur pemberian Sales produk, lalu bilang : " Itu pemborosan kertas mbak. Berdampak pada hutan negeri ini. Saya bisa lihat informasi produk itu dari media lain kok - tapi bukan kertas. "
Predikat " gila " pun sering ditempelkan di jidat saya oleh banyak orang, akibat tiga point diatas. Namun, saya malah berharap agar Tuhan mempertahan " kegilaan " saya, agar tetap bisa menciptakan perubahan-perubahan lainnya.
Jangan sebut diri kita generasi penerus perjuangan R.A Kartini, kalau masih takut menjadi beda, segan untuk menentukan pilihan, dan enggan melakukan perubahan. ♥